RSS Subscribe

KOMPILASI HUKUM ISLAM SEBAGAI PRODUK SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM

Posted by dev on Friday, October 10, 2008

KOMPILASI HUKUM ISLAM SEBAGAI PRODUK SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM



Pendahuluan
Peradilan Agama, yang merupakan wahana umat muslim dalam penyelesaian perkara sempat mengalami problem ketidakseragaman putusan. Hal mana disebabkan perbedaan sumber dalam pengambilan keputusan, menyisakan corak yang beragam. Dalam perjalanannya, Mahkamah Agung selaku yang membina masalah teknis yustisial merasa perlu mengambil tindakan guna menciptakan pedoman hukum bagi lingkungan peradilan agama.
Melalui proses yang tidak sederhana, Kompilasi Hukum Islam sebagai hasil ijtihad para 'alim Indonesia mewujud sebagai pijakan hakim terhadap suatu perkara. Berikutnya para pemutus perkara hanya perlu untuk membuka pedoman ini tanpa bermaksud menghambat kreativitasnya.
Kompilasi Hukum Islam, karena posisinya yang "hanya" sebagai instruksi, maka keberlakuannyapun tidak mutlak sebagaimana undang-undang. Makalah ini akan mengkaji Kompilasi Hukum Islam sebagai produk perkembangan pemikiran hukum Islam.









Pembahasan
1. Sejarah Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan hukum Islam di bidang muamalah yang berlaku dalam yurisdisksi peradilan agama bagi warga negara yang beragama Islam. Adapun yang melatar belakangi timbulnya KHI adalah dikarenakan penyelesaian persengketaan bagi umat Islam yang masih mengacu pada tiga sistem hukum, yaitu hukum Adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke wilayah Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang yang melaksanakan hukum Islam pada masa itu adalah Samudra Pasai, Kesultanan Aceh, Demak, Cirebon dan Banten.
Masuknya penjajah Belanda ke wilayah Nusantara tidak menghapus berlakunya hukum Islam. Secara tertulis Belanda mengakui hukum Islam yang dinyatakan dalam pasal 75 Regeering Reglemen Tahun 1855,dan pasal 78 RR. Berdasar pengakuan ini, untuk menyelesaikan perkara antar umat Islam, pemerintah kolonial membentuk Priestrerrad (Peradilan Agama). Dalam masa penjajahan Belanda, bidang hukum yang berlaku di pengadilan mengalami pasang surut.
Setelah Indonesia merdeka, berbagai undang-undang disusun untuk mengatur peradilan agama: UU No.22 1946 dan UU No. 36 1954. pada tahun 1958 melalui surat edaran Ka Biro Peradilan Agama dianjurkanlah para hakim untuk merujuk pada 13 buah kitab yang keseluruhannya merupakan fikih mazhab syafi'i.
Pemerintah Republik Indonesia menemukan kenyataan bahwa Islam yang berlaku itu tidak tertulis dan terserak di berbagai kitab yang sering berbeda tentang hal yang sama antara satu dengan lainnya. Undang-undang No. 22 tahun 1946 dan Undang-undang No. 23 tahun 1954 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak akan adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam pencatatan nikah,talak dan rujuk umat islam yang masih diatur oleh beberapa peraturan, yang bersifat propensialistis dan tidak sesuai dengan Republik Indonesia sebagai negara Kesatuan.
Pada saat itu juga terjadi pergeseran beberapa bagian hukum Islam ke arah tertulis dan termuat dalam beberapa bagian penyelesaian Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946. Dijelaskan pula bahwa pada saat itu Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk (umat Islam) sedang dikerjakan oleh penyelidik hukum. Perkawinan, Talak dan Rujuk yang dipimpin oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan.
Penerapan hukum yang didasarkan pada 13 kitab tersebut masih mengalami kesulitan. Hal ini karena banyaknya perbedaan antar ulama tentang suatu masalah, misalnya perkawinan. Karenanya Undang-undang tentang perkawinan disusun guna mengatasi masalah tersebut yang terkodifikasi dalam UU No. 1 Tahun 1974.
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan Tanah Milik merupakan pergeseran-pergeseran dari hukum Islam kearah hukum tertulis. Namun demikian, bagian-bagian lain tentang perkawinan, kewarisan, wakaf, dan lain-lain yang mejadi kewenangan Peradilan Agama masih berada di luar hukum tertulis.
Dalam rangka mencapai keseragaman tindak antara Mahkamah Agung dan Departemen Agama dalam pembinanaan Badan Peradilan Agama sebagai salah satu langkah menuju terlaksananya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman serta untuk menghindari perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan Undang-undang Perkawinan No.1/1974, pada tanggal 16 September 1976 telah dibentuk Panitia Kerjasama dengan surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.04/KMA/1976 yang disebut PANKER MAHAGAM (Panitia Kerjasama Mahkamah Agung / Departemen Agama)
Panitia ini berusaha memikirkan dan mewujudkan kesatuan hukum dan bentuk hukum tertulis bagi hukum Islam yang sudah berlaku dalam masyarakat.
Setelah adanya kerjasama tersebut, Departemen Agama selnjutnya mewujudkan kesatuan hukum dan bentuk hukum tertulis bagi hukum Islam yang sudah berlaku dalam masyarakat yang sebagian masih sebagai hukum tidak tertulis melalui berbagai bentuk seperti rangkaian seminar, simposium, dan lokakarya seta penyusunan Kompilasi Hukum Islam.
Ide Kompilasi Hukum Islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang teknis yustisial peradilan Agama. Tugas pembinaan ini didasarkan pada Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 11 ayat (1). Selama pembinaan teknis yustisial peradialan agama oleh Mahkamah Agung, terasa ada beberapa kelemahan, antara lain adalah hukum Islam yang diterapkan di lingkungan peradilan agama, yang cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalam hampir setiap persoalan.Guna mengatasinya, diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya.
Karena itu untuk mewujudkan kesatuan dan kepastian hukum Islam diperlukan kodifikasi hukum Islam yang akan digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan berbagai persoalan di lingkungan Peradilan Agama.
Proses Penyusunan. Pada tanggal 25 Maret 1985, Mahkamah Agung dan Departemen Agama mengeluarkan keputusan bersama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 yang ditandatangani di Yogyakarta oleh ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI. Isi keputusan bersama ini memuat proyek "Pengembangan Hukum Islam melalui Yurisprudensi" atau "Kompilasi Hukum Islam" yang dilaksanakan oeh sebuah tim pelaksanaan proyek. Proyek ini bertujuan mengkompilasikan aturan hukum Islam, mencakup wilayah muamalah dan yurisdiksi pengadilan agama ke dalam tiga kitab, yaitu Kitab Perkawinan;Kitab Waris; Kitab Wakaf, Sedekah, Hibah, dan Baitulmal.
Tim pelaksana proyek ini di pimpin oleh Prof.Dr. H Busthanul Arifin, SH (Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama) sebagai ketua umum dan dilengkapi beberapa bidang sebagai berikut. Bidang Kitab-kitab/ Yurisprudensi beranggotakan Prof. KH Ibrahim Hosen LML, Prof. H M.D. Kholid, SH (Mahkamah Agung), dan HA. Wasit Aulawi, MA (Departemen Agama). Bidang Wawancara terdiri dari M. Yahya Gani Abdullah dan Pengolahan Data beranggotakan H Amiroeddin Noer, SH (Mahkamah Agung) dan Drs. Muhaimin Nur, SH (Departemen Agama). Jangka waktu pelaksanaan proyek ini ditetapkan selama dua tahun terhitung dari penetapan SKB tersebut.
Pelaksanaan proyek ini ditempuh melalui wawancara dengan para ulama terkemuka, kompilasi keputusan-keputusan yanga diambil pengadilan agama seluruh Indonesia, seleksi argumen yuridis yang digunakan oleh pengadilan agama, pengumpulan argumen yang di kemukakan ulama-ulama mazhab dan berbagai kitab fikih, rancangan aturan hukum islam yang menyangkut tiga bidang yang disepakati (perkawinan, waris dan wakaf), studi perbandingan dengan negara-negara yang menerapkan hukum Islam,dan studi tentang kedudukan serta cakupan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam kitab fikih. Hasilnya kemudian dibahas dan dirumuskan oleh tim inti yang juga diketuai oleh Prof. Dr. H Busthanul Arifin, SH. Pada tanggal 29 Desember 1987 tim ini berhasil merumuskan tiga rancangan Kompilasi Hukum Islam, yaitu: (1) Hukum Perkawinan, (2) Hukum kearisan, (3) Hukum Perwakafan. Kemudian Rancangan Kompilasi Hukum Islam ini diserahkan kepada Ketua Mahkamah Aging RI dan Menteri Agama RI.


Kompilasi Hukum Islam debagai produk hukum nasional berpijak pada dua landasan:
1. Landasan Yuridis
Landasan Yuridis tentang perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum maysarakat ialah UU No. 14 / 1970 Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi "Hakim sebagai penegak hukum dan kewajiban wajib menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat". Dan di dalam fiqh ada qaidah "Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan".
2. Landasan Fungsional
Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia karena disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fiqh ini bukan madzab baru tapi ia mempersatukan berbagai Fiqh dalam menjawab satu persoalan fiqh.
Materi.
Kompilasi Hukum Islam terdiri atas tiga buku,29 bab, dan 229 pasal. Buku I Hukum Perkawinan memuat 18 bab, 170 pasal. Buku II Hukum Kewarisan memuat 6 bab, 44 pasal. Buku III Hukum Perwakafan memuat 5 bab, 15 pasal.
Hukum Perkawinan mengatur tenteang ketentuan umum (pasal 1), dasar-dasar perkawinan (pasal 2-10), peminangan (pasal 11-13), rukun dan syarat perkawinan (pasal 14-29), mahar (pasal 30-38), larangan kawin (pasal 39-44), perjanjian kawin (pasal 45-52), kawin hamil (pasal 53-54), beristri lebih dari satu (pasal 55-59), pencegahan perkawinan (pasal 60-69), batalnya perkawinan (pasal 70-76), hak dan kewajiban suami istri (pasal 77-84), harta kekayaan dalam perkawinan (pasal 85-97), pemeliharaan anak (pasal 98-106), perwalian (pasal 107-112), putusnya perkawinan (pasal 113-148), akibat putusnya perkawinan (pasal 149-162), rujuk (pasal 163-169), dan terakhir masa berkabung (pasal 170).
Hukum Kewarisan mengatur tentang ketentuan umum (pasal 171), ahli waris (pasal 172-175), besarnya bagian masing-masing ahli waris (pasal 176-191), aul (cara penyelesaian harta warisan yang jumlahnya kurang untuk dibagi kepada seluruh ahli waris yang berhak) dan rad (cara penyelesaian sisa harta waris yang tidak habis di bagi kepada ahli waris) jika harta warisan yang dibagi kurang atau lebih (pasal 192-193), wasiat (pasal 194-209), dan hibah (pasal 210-214).
Hukum Perwakafan mengatur ketentuan umum (pasal 215); fungsi, unsur-unsur, dan syarat-syarat wakaf (pasal 223-224); perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf (pasal 225-227); serta ketentuan peralihan dan ketentuan penutup (pasal 228-229).
2. Sosialisasi Kompilasi Hukum Islam
Inpres No.1 tahun 1991 pada dasarnya adalah perintah sosialisasi KHI untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerluannya. Demikian juga keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 yang berisi agar lingkungan Departemen Agama turut andil dalam penyebarluasan KHI.
Sosialisasi KHI ini dapat dilakukan oleh berbagai unit kerja dengan diintegrasikan bersama kegiatan lainnya. Sebagai contoh dilingkungan perguruan tinggi dan madrasah, KHI dapat dimasukkan sebagai salah satu materi dalam mata kuliah / mata pelajaran terkait. Beberapa perguruan Tinggi Islam dalam hal ini sudah banyak melakukannya. Di unit kerja lainnya materi KHI dapat diberikan sebagai salah satu materi penataran atau pelatihan bidang-bidang yang berkaitan.


Di lingkungan peradilan agama dan Direktorat pembinaan Peradilan Agama, sosialisasi KHI terus menerus dilakukan, baik melalui kegiatan, pelatihan, pendidikan, penyuluhan hukum,orientasi dan lain-lainnya dengan dukungan dari APBN. Namun nominal dana sosialisasi ini sangat tidak seimbang dengan kebutuhan yang ada. Dari tahun ketahun dana pembangunan untuk peradilan agama secara keseluruhan sangatlah kecil. Sebagai ilustrasi, anggaran pembangunan untuk tahun 2001 dan 2002 yang angka nominalnya merupakan tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya adalah 14,5 dan 21,3 milyar rupiah. Angka ini jika dibandingkan dengan kebutuhan untuk penyediaan sarana, anggaran dan pembelian bagi 331 PA dan 25 PTA seluruh Indonesia, sangatlah kecil.
Namun demikian, untuk kepentingan sosialisasi KHI/penyuluhan hukum, dari sejumlah dana APBN tersebut secara nasional, sekitar 20% digunakan untuk peningkatan pelayanan hukum, termasuk penyuluhan hukum dan penyediaan sarananya.
3. KHI Sebagai Produk Hukum Fuqaha Indonesia
Terobosan KHI pedoman penyelenggaraan peradilan merupakan hasil dari kerja keras ijtihad utama Indonesia. Merupakan hal yang patut dipertimbangkan karena ini menandakan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka. Agar dimaksudkan hukum Islam berkembang dan dinamis maka ulama didorong untuk berijtihad.
Adapun memelihara kepentingan hidup manusia sebagai cara pokok berijtihad dapat dijabarkan dalam berbagai cabangnya:
a. Maslahat Mursalat
Disebut juga ”istishlah”, yaitu menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan di dalam nash, dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia, yang bersendikan asas menarik manfaat dan menghindarkan mudarat. Kata ”maslahat” berarti kepentingan hidup manusia, dan kata “mursalat” berarti lepas dari ketentuan dalil khusus yang membenarkan atau membatalkannya. Misal, mengenai mengharuskan agar pernikahan dicatat, tidak ada satu nash pun yang membenarkan dan membatalkannya. Pencatatan perkawinan bertujuan memperoleh kepastian hukum atas terjadinya perkawinan, yang akan dipergunakan oleh negara untuk melindungi hak masing-masing suami isteri. Tanpa pencatatan, negara tidak mempunyai dokumen otentik atas terjadinya perkawinan.
Kepentingan-kepentingan hidup manusia (mashalih, bentuk jamak dari mashalahat), yang menjadi pertimbangan ditetapkannya hukum di luar nash, dibagi tiga: kepentingan-kepentingan esensial dalam kehidupan manusia, seperti memelihara keselamatan agama, jiwa akal dan harta (al-mashalih al-dharuriyat), kepentingan-kepentingan tak esesnsial, tapi diperlukan dalam kehidupan manusia, agar tidak mengalami kesempitan dan kesukaran, yang jika tidak terpenuhi, tidak akan mengakibatkan kerusakan dalam kehidupan manusia, tetapi hanya akan mengakibatkan kesempitan dan kesukaran (al-mashalih al-hajiyat), dan kepentingan-kepentingan pelengkap, yang jika tidak terpenuhi, tidak akan mengakibatkan kesempitan atau kesukaran dalam kehidupan manusia, (al-mashalih al-tahsiniyat).
b. Istihsan
Istihsan dapat dipandang sebagai “menetapkan hukum kekecualian atas dasar adanya tuntutan kemaslahatan, sesuai dengan tujuan syari’at”. Istihsan dilakukan, antara lain, jika terjadi konflik kepentingan, yaitu kepentingan yang ruang lingkupnya lebih sempit jika ketentuan hukum pada dalil khusus dilaksanakan secara apa adanya dengan kepentingan yang ruang lingkupnya lebih luas, yang didukung oleh ketentuan hukum pada dalil yang umum sifatnya.



c. Istish-hab
Secara sederhana, hal ini dapat diberi pengertian sebagai ”melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada, hingga terdapat ketentuan dalil yang mengubahnya”. Ada pula macam istish-hab:
Pertama, melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai kebolehan (ibadah) atau bebas-asal (bara’at al-ashliyah), pada saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya.
Kedua, melangsungkan berlakunya hukum syara’ berdasarkan sesuatu dalil, dan tidak ada dalil lain yang mengubahnya.
. ‘Urf
Termasuk memelihara kepentingan kehidupan manusia adalah memperhatikan adat-istiadat (’urf) suatu masyarakat. Adat istiadat merupakan bagian dari kultur yang selalu ada dalam kehidupan masyarakat. Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, sangat memperhatikan adat-istiadat yang sering merupkan salah satu faktor stabilitas sosial dan mempunyai kekuatan hukum, ditaati dan mengandung sanksi. Di Indonesia dikenal hukum adat, yang mungkin dapat dipandang sebagai penegasan terhadap pengertian ’urf di dalam fiqh.
Yang perlu diteliti secara cermat ialah syarat penerimaan ’urf. Kadang-kadang ada satu ’urf yang sepintas lalu tampak bertentangan dengan nash, tetapi setelah diadakan penelitian, ternyata dapat disesuaikan dengan ketentuan nash lain, sehingga hal itu memberikan jalan bagi dikukuhkannya ‘urf.
Dimensi Fiqh
Salah satu dimensi hukum Islam yang paling dikenal dalam masyarakat, baik umat Islam maupun komunitas ilmiah, adalah fiqh. Ia merupakan produk penalaran fuqaha yang dideduksi dari sumber (ayat al-Qur’an dan teks hadits) yang otentik. Produk pemikiran mereka didokumentasikan dalam berbagai kitab fiqh, yang tersusun secara tematik dan mencakup berbagai bidang kehidupan, mulai dari thaharah sampai jihad.
Pandangan yang mengidentikkan fiqh dengan hukum Islam ditunjang oleg beberapa hal:
a. Didasarkan kepada ayat al-Qur’an dan Hadits yang dicantumkan secara eksplisit dan otentik.
b. Tersusun secara tematik. Mencakup unsur hukum taklifi dan hukum wadh’i.
c. Mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, disertai dengan kaifiah masing-masing. Dalam berbagai hal, paralel dengan pertumbuhan dan perkembangan pranata sosial.
d. Bersifat praktis (’amaliyah) sehingga mudah diterapkan dalam kehiduoan sehari-hari. Fiqh dijadikan rujukan dalam menghadapi masalah hukum yang memerlukan pemecahan segara.
e. Terdokumentasi dalam kitab-kitab fiqh, yang tersebar menurut berbagai aliran pemikiran (mazhab) sehingga mudah dipelajari dan diajarkan.
f. Diajarkan dalam berbagai lingkungan, baik melalui pendidikan jalur sekolah (termasuk pesantren) dan institusi masyarakat lainnya.
Adapun metode yang digunakan Indonesia dalam melakukan pembaruan Hukum Perkawinan adalah: (1) metode takhshis al-qadha’/siyasah syari’ah; (2) reinterpretasi nas, termasuk dengan jalan qiyas dan; (3) takhayyur dan talfiq. Negara-negara muslim yang lain juga menggunakan metode tersebut dalam melakukan perumusan hukum (keluarga). http://www.msi-uii.net
Upaya Reformulasi Fiqh Indonesia
Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh warna aloran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.
Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddieqie, A. Hassan dan Munawwir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat muslim secara umum. Ide-ide mereka seakan terkubur oleh fanatisme masyarakat terhadap kitab-kitab kuning. Baru sejak dikenalkannya urgensi pluralisme pemikiran hukum lewat Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Inpres tahun 1991, gagasan yang terpendam lama itu mendapat angin segar untuk bangkit kembali. Setidaknya, respon positif masyarakat bisa dibaca dari animo dan antusiasme mereka terhadap kajian sosiologi hukum dan terbitnya buku Fiqh Sosial-nya Ali Yafie.
Terbuka lebarnya peluang untuk melakukan reformasi dan reformulasi hukum ini tentunya harus dimanfaatkan dengan melakukan sebuah pilihan bentuk reformulasi hukum yang diharapkan untuk terwujud. Tentunya, reformulasi hukum Islam yang diharapkan harus tetap mencerminkan karakter hukum Islam itu sendiri, yang bersifat elastis, adaptable dan applicable, yang bermuara pada terciptanya maqasid al-shari’ah, yakni kemaslahatan umum.
Untuk itu, maka reformulasi hukum Islam hendaknya lebih terfokus kepada kajian konteks, ketimbang kajian teks. ”Gugatan” terhadap dominasi teks fikih klasik yang banyak dianut secara buta sangat layak untuk dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Yang Pertama, teks fikih klasik tidak memiliki klasifikasi yang cukup rapi dan ditulis dalam style abad pertengahan, sehingga kurang mendukung efektifitas dan efisisensi administratif. Kedua, concern kajiannya lebih banyak tentang hal-hal dan isu yang tidak relevan lagi dengan kondisi umat muslim kontemporer. Dan ketiga, adanya tendensi scholasticisolation yang melahirkan fanatisme mazhab dengan menutup diri untuk respek pada kontribusi pemikiran-pemikiran kelompok lain.
Dalam perkembangannya terakhir, yakni munculnya KHI (Kompilasi Hukum Islam), pendekatan sosiologis sudah tampak dengan jelas penggunaannya melalui pasal-pasalnya yang banyak melakukan kompromi dengan adat kebiasaan yang berlaku. Meskipun demikian, sebuah bentuk metodologi yang baku dan konsisten masih belum terlihat dalam KHI, sehingga ketidak ajegan istinbath hukum Islam kerap kali terjadi. Kerancuan metodologi hanya akan lebih banyak mewariskan kebingungan dari pada merangsang kreatifitas untuk berijtihad dan menciptakan kepastian hukum (legal necessity).
Ketidakpastian metodologi pengambilan hukum dalam KHI ini bisa jadi juga disebabkan oleh munculnya tekanan kepentingan politik yang begitu kuat, sehingga mengharuskan suatu pilihan hukum yang berbeda dengan pilihan hukum yang wajar yang akan didapat dari metodologi yang diambil secara normal,
Tantangan dan Hambatan
Banyak pengamat hukum yang menyatakan bahwa unifikasi dan kodifikasi hukum dalam satu sisi memang menguntungkan karena ia menawarkan kepastian hukum, namun di sisi lain ia telah menjadikan hukum lamban untuk berubah, karena perubahan atau reformulasi hukum yang sudah dikodifikasikan akan memakan waktu yang sangat panjang.
Tantangan dan hambatan berikutnya adalah kenyataan bahwa Undang-Undang dan peraturan yang ada tidak sepenuhnya efektif pemberlakuannya dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Mac Cammack tentang hukum perkawinan di Indonesia. Ketidak efektifan ini bisa dilihat dari dua sisi. Bisa jadi hal tersebut disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat akan undang-undang dan peraturan tersebut atau juga karena undang-undang dan peraturannya yang kurang bisa diterima secara sosial. Kalau kemungkinan pertama yang menjadi sebab, maka solusinya adalah pelaksanaan sosialisasi UU dan peraturan yang ada serta peningkatan pengetahuan masyarakat tentang hukum. Jika kemungkinan yang kedua yang terjadi, maka perlu diadakan perombakan metodologis dalam reformulasi hukum itu sendiri.
Kekentalan penganutan terhadap teks fiqh klasik di kalangan masyarakat kebanyakan bisa merupakan obstacle bagi tersosialisasinya unifikasi hukum seperti KHI yang tidak hanya mencampur adukkan penggunaan empat madhzab yang populer, melainkan pula penggunaan pendapat di luar madhab tersebut. Oleh karena itu, untuk mempertemukan dua kutub ini, maka sebuah reformulasi hukum sangat baik jika dimulai dengan pemasaran ide-ide dasar metodologisnya.
4. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam
Mengenai kedudukan KHI, menurut Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 yang kemudain dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS Nomor IX/MPR/1978 menyebutkan bahwa tata urutan perundang-undangan menempatkan Instruksi Presiden berada pada urutan ke enam. Akan tetapi, Presiden kedudukannya adalah sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawah MPR, dan menurut pasal 17 UUD 1945 ditentukan: "Presiden dalam menjalankan pemerintahan di bantu menteri-menteri negara, dan menteri-menteri itu memimpin departem pemerintahan", maka Presiden berwenang memberikan instruksi kepada menteri baik sebagai pembantu presiden maupun sebagai kepala departemen untuk mendukung presiden dalam menjalankan pemerintahan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa meskipun KHI hanya dituangkan dalam bentuk INPRES, namun masih tetap mempunyai kedudukan yang cukup kuat dan mantap untuk dijadikan sebagai pedoman, landasan dan pegangan bagi para hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama.
Lebih jauh mengenai posisi Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kompilasi Hukum Islam disusun dengan memperhatikan situasi dan kondisi kebutuhan hukum umat Islam, serta diberlakukan di Indonesia;
b. Sebagai pegangan bagi para hakim PA dan PTA dalam arti pedoman dan sumber pengambilan hukum dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara;
c. Sebagai hukum terapan (hukum materiil) yang diginakan di lingkungan Peradilan Agama.
Namun oleh karena KHI bukan merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara kita yang harus dijadikan pegangan oleh para hakim, maka dalam praktek penyelesaian perkara di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama terdapat perbedaan dalam hal penggunaan KHI. Sebagian ada yang menggunakannya secara eksplisit, sebagian lainnya tidak.
Korelasi antara KHI Buku Pertama dengan UU No.1/1974 dan PP. No.9/1975 khusus di bidang substansi hukum Perkawinan, KHI telah memperbaharui beberapa nilai yang menjadi dasar, asas serta peraturan perkawinan Islam, diantaranya menyampaikan konsep perkawinan dengan konsep nikah, adanya perkawinan hanya dibuktikan dengan akte nikah, mengenai harta bersama dan sebagainya.
Mengenai sub sistem hukum terapan Peradilan Agama bidang kewarisan, yang sebelumnya bersumber dari kitab-kitab kuning yang ber-madhhab Syafi'i, maka dalam Buku Kedua KHI secara serta merta mengesampingkan hukum yang telah berlaku di masyarakat. Suatu misal, anak perempuan seperti anak laki-laki berkedudukan sebagai hijab hirman; diciptakannya lembaga wasiyat wajibah, dimana anak angkat bisa memperoleh warisan melalui lembaga tersebut, termasuk ayah angkat.
Adapun fungsi KHI adalah untuk melengkapi, mendukung, menopang dan memberi penegasan ulang serta penjabaran lebih lanjut atas UU No.1/1974 beserta PP. No.9/1975; PP. No.28/1977 dan UU No. 7 Tahun 1989, dimana penjabaran yang bernuansa dan bernafas atau bernilai Islami ini dapat dijadikan pedoman, landasan dan pegangan bagi pencari keadilan dan para praktisi hukum, khususnya para hakim Peradilan Agama.

PENUTUP
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan :
1. Hadirnya Kompilasi Hukum Islam merupakan perkembangan yang bagus bagi pemikiran hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam pada masanya mampu menjadi pedoman pemutus persengketaan di pengadilan agama. Meski bertujuan agar tercipta keseragaman tindak, pemberlakuan KHI yang tidak memiliki daya paksa sebagaimana hukum tertulis lain menjadikan tujuan tersebut tidak maksimal tercapai. Walau demikian, terciptanya KHI merupakan prestasi.
2. Reformulasi hukum Islam merupakan suatu keharusan dalam rangka perbaikan aplikasi hukum Islam yang mengarah kepada terwujudnya kemaslahatan umum. Di samping itu, reformulaso juga dibutuhkan dalam rangka mempertegas dan peranan hukum Islam di Indonesia serta memperjelas posisinya dalam peta pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dan dalam pemikiran hukum secara umum.
3. KHI bagaimanapun kondisinya, secara yuridis formal konstitusional, tetap mempunyai kedudukan yang cukup kuat dan sah untuk dijadikan pedoman, rujukan, landasan dan pegangan para hakim Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili serta memutus perkara-perkara yang menjadi wewenangnya. Wallahu a’lam.



REFERENSI


- Ahmad Azar Bayir. 2000. Pokok-pokok Persoalan Filsafat hukum Islam. Yogya: UII Press.
- Ahmad Azhar Basir. “Pokok-Pokok Ijtihad”, dalam Ijtihad Dalam Sorotan, Ed. Jalaludin Rahmat. Bandung: MIZAN, 1996.
- Antologi Kajian Islam cetakan: 1 1999, Ed. Thoha Hamim. Surabaya: Pasca Sarjana Press.
- A. Qodry Azizy. 2002. Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam & Hukum Umum. Yogya: Gama Media.
- Cik Hasan Bisri. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
- Ensiklopedi Islam. 2000, Ed. Abdul Aziz Dahlan, dkk. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve.
- http://www.geocities.com./hotsprings/6774.
- Kompilasi Hukum Islam di Indonesia: Instruksi Presiden RI No.1/1995.
- Mahsun Fuad. 2005. Hukum Islam Indonesia: Dari Nakar Partisipatoris Hingga Emansipatoris. YOGYA: Lki 5.
- Mimbar Hukum No. 58, Tahun XII. Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinpera.
- Undang-undang No.14 Tahun 1970.
- www.suaramerdeka.com

{ 0 comments... read them below or add one }

125x125 Ad Spots

 
Web Informer Button