RSS Subscribe

Islam agama rahmat dan pembawa kesempurnaan.

Posted by dev on Friday, October 10, 2008

Pendahuluan

Islam agama rahmat dan pembawa kesempurnaan. Semua kita telah mengetahui bahwa shariat-shariat yang telah lalu merupakan beberapa ketentuan yang menjelaskan sekumpulan hukum yang harus diikuti oleh umat-umat yang menerima ketentuan-ketentuan itu, yang sesuai dengan keadaan mereka.

Shariat Islam yang menyudahi segala shariat, yang datang kepada bani insan telah sampai kepuncak kedewasaannya, bersifat universal.

Tak ada lagi risalah dan nubuwah sesudahnya. Allah menyempurnakan pembinaan shariat-shariat yang telah lalu dengan shariat Islam ini. Dan Allah menjadikan shariat Islam ini rahmat bagi umat yang menerimanya.

و ما أرسلناك إلا رحمة للعالمين

“Dan tidaklah Kami utus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi seluruh alam “.

Rahmat Allah ini tergambar dalam ketentuan-ketentuan ini, yaitu :

Shariat Islam bukanlah merupakan sekumpulan hukum yang sudah diperincikan seluruhnya dan diharuskan kita melaksanakan sepenuhnya tanpa ada pertimbangan-pertimbangan baru. Hukum-hukumnya terbagi kepada dua macam :

Pertama, ada yang mufas}s}al, yaitu yang kemaslahatannya tidak berbeda-beda karena berbeda masa dan tempat, atau karena perubahan masa. Hukum-hukum ini berlaku tetap untuk sepanjang zaman dan setiap masyarakat.

Kedua, Merupakan asas dan kaidah dalam bentuk nas} kulli yang masing-masingya itu merupakan kaidah umum yang dapat diterapkan untuk segala masa. Perinciannya dan penerapannya diserahkan kepada ijtihad para mujtahid, dia merupakan kaidah-kaidah kulliyah yang dituang dalam bentuk nas}-nas} yang kulli, yang penerapannya, diserahkan kepada para mujtahid. Diantara hasil mujtahid dalam menerapkan nas} kulli yaitu ditetapkannya adat sebagai metode untuk menetapkan suatu hukum.

Islam datang ditengah-tengah masyarakat yang sudah menyebar dan terbiasa dari nenek moyangnya beberapa kebiasaan. Oleh karenanya Islam datang dengan ajarannya tidak merubah semua hal (kebiasaan) dengan secara total akan tetapi Islam juga mempertimbangkan masalah-masalah yang berkembang dikalangan masyarakat pada waktu itu (awal Islam). Dengan kaidah umum yang terdapat dalam nas}-nas} nya yaitu menjaga kemaslahatan dan menolak kesulitan Islam menetapkan kebiasaan-kebiasaan sebagai dasar hukum.

Apabila diantara kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam maka Islam akan merubahnya dengan secara perlahan (tadarruj) sehingga Islam tidak terkesan agama yang memaksa kehendak orang lain. Sebagaimana yang Allah firmankan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. (QS. Al-Baqarah : 256)

Al-S}atibi mengatakan, bahwa salah satu faktor ditetapkannya adat sebagai dasar hukum ialah tanpa kebiasaan yang berjalan dikalangan masyarakat niscaya agama (Islam) tidak akan bisa dikenal (diterima) diatas bumi ini apalagi cabang-cabangnya, karena agama tidak bisa diterima kecuali setelah mengakui tentang kenabian Muhammad saw dan tidak mungkin mengakui akan kenabian kecuali dengan lantaran mukjizat dan mukjizat tidak ada artinya apabila adanya mukjizat tersebut tidak keluar (berbeda) dari kebiasaan orang banyak dan tidak akan tercapai sesuatu yang keluar (berbeda) dari kebiasaan orang banyak kecuali setelah mengakui adanya suatu kebiasaan. Misalnya al-Quran turun dikalangan bangsa Arab yang mana masyarakat begitu pandai dalam bahasa Arab akan tetapi bangsa Arab tidak mampu membuat suatu susunan kalimat yang berfaidah sebagaimana susunan al-Quran.

Dalam hal ini penulis akan menjelaskan tentang urf (kebiasaan) serta hal-hal yang bersangkutan dengan urf tersebut.

Definisi urf

Dalam bahasa Arab, terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan, yaitu al-Adah dan al-Urf.

Ada perbedaan pendapat antara ulama dalam mengartikan dua kalimat tersebut. Apakah al-Adah dan al-Urf dua kalimat yang berbeda tetapi mempunyai arti yang sama atau al-Adah dan al-Urf dua kalimat yang berbeda juga berbeda dalam maknanya.

Dalam hal ini Jaih Mubarak mengatakan dalam bukunya yang ia nukil dari beberapa ulama bahwa : Jumhur ulama seperti al-Ghazali, al-Jurjani dan Ali Haidar berpendapat bahwa al-Adah dan al-Urf dua kalimat yang mempunyai maksud arti yang sama.

Namun ada ulama lain yang menbedakan antara al-Adah dan al-Urf. Diantara perbedaannya adalah bahwa al-Adah lebih umum dari al-Urf, karena al-Adah adalah kebiasaan, baik secara individu maupun secara kolektif, sedangkan al-Urf adalah kebiasaan kolektif saja. Oleh karenanya setiap urf adalah adat tetapi bukan setiap adat adalah urf.

Khallaf mengatakan, urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu.

Lanjut Khallaf, menurut istilah ahli shara’, tidak ada perbedaan diantara urf dan adat. Urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia tentang jual beli al-Mu’at}ah dengan pelaksanaan tanpa sighah yang diucapkan. Sedang urf yang bersifat ucapan adalah seperti saling mengerti mereka tentang kemutlakan lafad} al-Walad atas anak laki-laki bukan anak perempuan, dan juga saling mengerti mereka agar tidak mengitlakkan lafad} al-Lahm yang bermakna daging atas al-Samak yang bermakna ikan tawar. Jadi urf adalah terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka, keumumannya dan kekhususannya.

Berbeda dengan ijma’, karena ijma’ itu adalah tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus, dan umum tidak termasuk ikut membentuk didalamnya.

Macam-macam urf

Menurut penelitian penulis dari beberapa literatur, ulama hanya membahas tentang urf yang tidak didapatkan dalil yang melarang dan mencegah sehingga hukum yang telah ditetapkan melalui urf itu bisa berubah dengan perubahan urf disuatu masa dan tempat. Namun penulis mendapatkan keterang dari al-S}atibi dalam kitabnya al-Muwafaqat bahwa hukum yang dihasilkan atas dasar kebiasaan itu ada kalanya bisa berubah dengan berubahnya masa dan tempat dan juga ada suatu hukum yang dikaji melalui kebiasaan akan tetapi tidak berubah selamanya walaupun kebiasaan disuatu masa dan tempat berubah. Dalam hal ini Kebiasaan yang berjalan dikalangan masyarakat itu ada dua macam, yaitu :

Pertama, al-Adah al-Shar’iyah suatu kebiasaan yang ditetapkan oleh dalil shara’ atau dihapus (ditiadakan) oleh dalil shara’. Dengan artian bahwa shara’ merintahnya, melarangnya atau mengizini. Maka adat yang seperti ini selamanya akan tetap tidak berubah walaupun berubahnya masa dan tempat misalnya perintah tentang membersihkan najis dan menutupi aurat dan larangan t}awaf dengan telanjang.

Kedua, kebiasaan yang berlaku dikalanagn masyarakat yang tidak ada dalil (nas}) yang merintah dan melarangnya, dalam hal ini ulama us}ul membagi pada dua bagian, yaitu : Urf s}ahih dan urf fasid.

Urf sahih ialah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil umum shara’ juga tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib, seperti saling mengerti manusia tentang kontrak pemborongan atau saling mengerti mereka tentang pembagian mas kawin (mahar) kepada mahar yang didahulukan dan yang diakhirkan. Juga saling mengerti mereka bahwa istri tidak boleh menyerahkan dirinya kepada suaminya kecuali apabila dia telah menerima sebagian dari maharnya dan saling mengerti mereka pula bahwa sesuatu yang telah diberikan oleh pelamar (calon suami kepada calon istri yang berupa perhiasan atau pakaian adalah termasuk hadiah dan bukan sebagian dari mahar.

Adapun urf fasid, yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi sesuatu itu bertentangan dengan shara’, atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib, seperti saling mengerti manusia tentang beberapa perbuatan mungkar dalam upacara kelahiran anak dan suguhan minuman keras yang biasa disuguhkan tuan rumah dalam acara-acara. Juga saling mengerti mereka tentang makan riba dan kontrak judi.

Hukum urf

Adapun urf s}ahih, maka urf dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Bagi seorang mujtahid harus memeliharanya dalam waktu membentuk hukum. Seorang qadi (hakim) juga harus memeliharanya ketika mengadili, karena sesuatu yang telah saling dikenal manusia tetapi tidak menjadi adat kebiasaan, maka sesuatu yang disepakati, dan dianggap ada kemaslahatannya, selama sesuatu itu tidak bertentangan dengan shara’ maka harus dipelihara. Dan shari’ telah memelihara urf bangsa Arab yang s}ahih dalam membentuk hukum maka difard}ukanlah diyah (denda) atas orang perempuan yang berakal disyaratkan kafa’ah (kesesuaian) dalam hal perkawinan, dan diperhtungkan juga adanya Asabah (ahli waris yang bukan penerima pembagian pasti) dalam hal kematian dan pembagian harta pusaka.

Karena itu ulama berkata : Adat itu adalah shariat yang dikukuhkan sebagai hukum, sedangkan urf menurut shara’ juga mendapatkan pengakuan. Imam malik mendasarkan sebagian besar hukumnya kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas dasar perbedaan urf mereka. Imam Shafii ketika telah berada di Mesir mengubah sebagian hukum yang telah menjadi pendapatnya ketika beliau berada Baghdad. Hal ini karena peradaban urf. Karena itu beliau mempunyai dua mazhab, mazhab qadim (pertama atau dahulu ) dan mazhab jadid (baru). Dalam fiqh Hanafiah banyak hukum-hukum yang didasarkan atas urf diantaranya apabila berselisih dua orang terdakwa dan tidak terdapat saksi nyata bagi salah satunya, maka pendapat yang dibenarkan (menangkan) adalah pendapat orang yang disaksikan oleh urf, apabila suami istri tidak sepakat atas mahar yang muqaddam (terdahulu) atau mu’akhhar (terakhir), maka hukumnya adalah urf barangsiapa bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia makan ikan tawar, maka tidak berarti dia melanggar sumpahnya menurut dasar urf pendapat yang dinukil itu sah kegunaannya apabila telah berjalan padanya urf (telah menjadi urf). Jadi, syarat sahnya akad itu jika shara’ telah datang dengan membawa ketentuan tentang hal itu, atau apabila dituntut oleh akad, atau apabila berjalan padanya urf.

Diantara ungkapan yang terkenal ialah ;
المعروف عرفا كالمشروط شرطا والثابت بالعرف كالثابت بالنص
Apa-apa yang dimengerti secara urf adalah seperti yang disyaratkan menurut syarat, dan yang telah tetap menurut urf adalah seperti yang telah tetap menurut nas>.

Adapun urf yang rusak, maka tidak harus memeliharanya, karena memelihara itu bearti menentang dalil shara’, atau membatalkan hukum shara’. Maka apabila manusia telah saling mengerti akad diantara akad-akad yang rusak, seperti akad riba, atau akad gharar dan khatar (tipuan dan membahayakan), maka bagi urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkan akad ini. Karena itu dalam undang-undang positif manusia tidak diakui urf yang bertentangan dengan undang-undang umum, akan tetapi dalam contoh akad ini hanya ditinjau dalam segi lain, yaitu bahwa akad ini, adakah dianggap termasuk darurat manusia atau hajatnya ? artinya apabila akad tersebut membatalkan, maka berarti menipu peraturan kehidupan mereka, atau mereka akan memperoleh keberatan atau kesulitan atau tidak ? maka jika hal itu adalah termasuk darurat atau kebutuhan mereka, maka hal itu diperbolehkan, karena darurat itu memperbolahkan hal-hal yang telah diharamkan, sedang hajat itu bisa menduduki tempat kedudukan darurat dalam hal ini, dan jika bukan termasuk darurat dan bukan juga termasuk kebutuhan mereka, maka dihukumi dengan batalnya akad tersebut, dan berdasarkan ini, urf tidak diakui.

Hukum-hukum yang didasarkan atas urf yang tidak ada padanya dalil khas} itu dapat berubah menurut perubahan urf pada suatu zaman dan tempat karena cabang (hukum) berubah karena perubahan asalnya (urf).

Urf menurut penyelidikan adalah bukan dalil shara’ yang tersendiri. Pada umumnya ia adalah termasuk memelihara maslahah sebagaimana dipelihara dalam pembentukan hukum. Di pelihara juga dalam menafsisri beberapa nas}, maka dengan itu dikhususkanlah lafaz} yang am (umum) dan dibatasi yang mutlak. Terkadang kiyas itu ditinggalkan, lantaran urf karena itu sah mengadakan kontrak borongan dimana urf sudah terbiasa dalam hal ini, sekalipun tidak sah menurut kiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada).

Al-Adah atau al-Urf (menurut al-Suyut}i)

Abd al-Rahman al-Suyut}i dalam kitabnya al-Ashbah wa al-Naz}a’ir mengatakan bahwa adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum. Oleh karenanya banyak sekali ditemukan masalah-masalah fiqh yang berdasarkan atas adat. Seperti : usia haid, kebiasaan nifas, kebiasaan haid (lamanya), balig, keluar mani dll.

Dalam hal ini ada beberapa pembahasan yang berkaitan dengan adat tersebut diantaranya :

1. Adat dapat ditetapkan sebagai hukum apabila adat tersebut berlaku disetiap waktu, apabila adat tersebut berlaku kadang-kadang (uncontinuous) maka adat itu tidak bisa ditetapkan sebagai hukum.

Contoh jual beli yang dilakukan disuatu tempat yang mana ditempat tersebut bahwa transaksi jual beli dilakukan dengan salah satu jenis mata uang (rupiah, pen) maka transaksi tersebut sah dengan memakai uang yang sudah menjadi adat ditempat jual beli. Akan tetapi apabila jual beli itu dilakukan disuatu tempat dimana ditempat tersebut bahwa transaksi jual beli dilakukan dengan dua atau lebih mata uang maka jual beli yang dilakukan dengan tanpa kesepakatan mata uang tidak sah karena akan menimbulkan suatu perselisihan.

2. Adat yang berlaku dikalangan masyarakat apakah adat tersebut termasuk syarat (al-Maskut anhu, pen) atau tidak?

Misalnya hukum shariah menetapkan bahwa orang yang menghutangi orang lain kemudian sipemilik uang meminta kembalian dari uangnya lebih dari uang yang dihutangkan adalah dilarang karena termasuk riba. Akan tetapi apabila disuatu tempat menjadi suatu kebiasaan bahwa orang yang hutang ketika mengembalikan uang pinjaman mengembalikan lebih dari yang ia pinjam, apakah hutang piutang ditempat yang mempunyai kebiasan tersebut termasuk syarat sehingga hutang piutang dilarang atau bukan termasuk syarat. Pendapat yang lebih s}ahih bahwa hutang piutang tersebut tidak termasuk syarat selama penambahan itu tidak disyaratkan secara lisan.

3. Semua yang diatur oleh shara’ secara mutlak namun belum ada ketentuan dalam agama serta dalam bahasa maka semua itu dikembaliken pada urf

Misalnya hukum shariah menetapkan hukum mahar perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuan itu dikembalikan pada kebiasaan. Dengan demikian juga wanita yang haid, berapa lama darah yang keluar itu dianggap haid, maka kebiasaan tiap bulan merupakan standarnya.

Pengecualian dari kaidah tersebut ialah : Bai’ Mu’at}ah (jual beli yang sedikit) seperti makanan ringan menurut mazhab (Shafii) sebenarnya tidak sah walaupun pada akhirnya imam Nawawi mensahkan jual beli tersebut.

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum apabila adat tersebut tidak bertentangan dengan nas}. Maka dari itu apabila urf tersebut bertentangan dengan nas} maka urf itu tidak bisa ditetapkan sebagai hukum.

Perselisihan urf dengan shara’, ada dua macam :

Pertama, apabila dalam penyebutan shara’ tidak ada kaitannya dengan hukum, maka dalam hal ini pemakaian urf didahulukan dari shara’. Misalnya seorang bersumpah tidak makan daging maka orang tersebut tidak berdosa (melanggar sumpahnya) dengan makan ikan walaupun Allah swt dalam al-Quran menyebut ikan dengan kalimat al-Lahm (daging).

Kedua, apabila dalam penyebutan shara’ ada kaitannya dengan hukum maka dalam hal ini shara’ didahulukan dari urf. Misalnya seorang bersumpah untuk tidak puasa maka ia tidak berdosa dengan tidak makan saja akan tetapi tidak makan sebagaimana puasa dalam shara’.

Perselisihan urf dengan bahasa, ada dua pendapat tentang mana yang didahulukan antara keduanya tersebut.

Kalau menurut al-Qadi Husain bahwa bahasa didahulukan dari urf. berbeda dengannya, al-Bagawi yang mengatakan bahwa urf didahulukan dari bahasa. Misalnya, jiika seorang bertamu kepada temannya kemudian ia disuguhi dengan makanan namun si tamu tidak mau makan kemudian si pemilik rumah berkata (bersumpah) kalau kamu tidak mau makan maka istri saya akan saya talak, sitamu pulang tanpa mencicipi hidangan tersebut kemudian esoknya sitamu bertamu lagi dan disuguhi makanan yang kemarin disuguhkan kemudian si tamu memakannya. Menurut pendapat pertama (bahasa) tidak dosa dan menurut pendapat kedua (urf) dosa.

Pengecualian dari masalah tersebut. Apabila disuatu daerah kebiasaannya memakai tunggangan kuda maka ketika seorang mengatakan berikan si fulan tunggangan maka yang ia maksud adalah kuda bukan onta, sapi dll karena dalam urf daerah tersebut menggunakan kuda sebagai tunggangan walapun dalam bahasa dua itu termasuk tunggangan juga.

Akan tetapi dalam masalah tersebut (perselisihan bahasa dan urf), ini hanya berlaku dikalangan orang Arab saja. Selain non arab maka yang didahulukan adalah urf nya tanpa melihat bahasanya. Misalnya kalau ada seorang berwasiat kepada kerabatnya maka kerabat dari ibunya tidak termasuk wasiat kalau dalam wasiat Arab berbeda dengan wasiat non Arab kerabat dari ibunya juga masuk dalam wasiat tersebut.

Perselisihan urf am dan khas}. Cirri-cirinya, apabila urf terjadi pada salah satu orang saja (khusus dan terhitung) maka urf nya tetap tidak bisa merubah urf am dengan kata lain urf am tetap berlaku. Namun ada ulama yang mengatakan bahwa urf khas} bisa dilakukan. Misalnya apabila ada sebagian orang yang mempunyai kebiasaan haid lebih sedikit dari pada urf kebanyakan orang maka urf khas} ini tiidak dapat ditetapkan sebagai hukum.

Berbeda apabila urf khas} tersebut dilakukan oleh orang banyak misalnya satu wilayah/daerah walaupun tidak menyamai banyaknya urf am maka urf khas} ini bisa ditetapkan sebagai hukum. Misalnya suatu tempat masyarakat mempunyai kebiasaan menjaga tanamannya pada malam hari dan menjaga hewannya pada siang hari maka urf khas} ini dapat ditetapkan sebagai hukum diwilayah tersebut.

Dasar-dasar nas} kaidah al-Adah

Salah satu dasar (dalil umum) dijadikannya urf sebagai salah satu metode dalam menggali hukum ialah firman Allah swt :

خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن المشركين

“ Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang untuk mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.

وعاشروهن بالمعروف
“ Dan pergaulilah mereka secara patut.

Juga hadith mauquf yang diriwayatkan oleh ibn Mas’ud

فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَن
"Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, baik pula disisi Allah".




Penutup

Dari penjelasan singkat diatas, penulis mengesimpulkan bahwa adat adalah salah satu metode dalam menggali hukum yang ditetapkan dalam Islam. Adat adakalanya berubah sesuai dengan perubahan masa dan tempat apabila adat tersebut tidak ditetapkan oleh dalil hkas} juga adat tersebut berubah sesuai dengan perubahan masa dan tempat dimana apabila adat tersebut ditetapkan dan dinafikan oleh dalil umum dan dengan catatan selama adat tersebut tidak bertentangan dengan dalil-dalil umum shara’ seperti menghalalkan sesuatu yang haram dan menghalalkan sesuatu yang halal. Juga dengan menjaga adat yang sudah berlaku dikalangan masyarakat tidak menimbulkan sesuatu kemudaratan dan kesukaran dan menghilangkan suatu kemaslahatan.


Daftar pustaka

· Al-Quran al-Karim. Lebanon: Dar al-Fikr, 1404 H.
· Al-Jauziyah, Ibn Qayyim. I’lam al-Muawaqqi’in, vol. 3. Lebanon: Dar al-Kutub Al-Ilmiah, 1993.
· Al-Satibi, Ibrahim. al-Muwafaqat, vol. 1. Dar al-Fikr, 195.
· Al-Suyuti, Abd al-Rahman. al-Ashbah wa al-Nazair. Surabaya: Hidayah, 1965.
· Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
· Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh vol, I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
· Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad Ahmad. dalam cd Maktabah Shamilah
· Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Us}ul al-Fiqh. Kairo: Shabab al-Azhar.
· Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 153.
· Tabrani. Al-Mu'jam Al-Kabir. dalam cd Maktabah Shamilah
· Usman, Mulish. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

{ 0 comments... read them below or add one }

125x125 Ad Spots

 
Web Informer Button