RSS Subscribe

penentuan Awal dan akhir Ramadhan

Posted by dev on Friday, October 10, 2008

BAB I

PENDAHULUAN





Awal dan akhir Ramadhan mempunyai arti yang sangat penting dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah terutama ibadah puasa, sehingga terjadinya perbedaan penetapan akan dapat menimbulkan fitnah dan percekcokan terutama di kalangan awam.

Dalam beberapa hadith, secara eksplisit telah dijelaskan tentang cara penentuan awal dan akhir Ramadhan. Menurut riwayat sahih dari al-Bukhari, Rasul Allah memerintahkan agar penentuan awal dan akhir Ramadhan ditetapkan dengan cara ru’yah (pengamatan). Pada kondisi tertentu ketika pengamatan tidak dapat dilakukan karena tertutup awan, diberikan alternatif dengan cara pengkadarannya.[1]

Sementara ada sebagian kalangan yang menafsirkan (faqduru lah) dengan hitungan (hisab) atas lamanya bulan tersebut. Menurut mereka, hadith yang dijadikan alasan oleh golongan tersebut hanya bersifat temporal, kondisional, sewaktu umat Islam pada waktu itu belum memiliki keahlian di bidang perhitungan bulan. Hal ini berbeda dengan keadaan umat Islam era sekarang yang ilmu astronominya telah mampu menghitung dan memprediksikan pendekatan matematis.[2]

Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan hadith, merupakan bagian fiqih. Dalam pandangan agama perbedaan pendapat adalah sah. Namun, upaya menyelesaikan dalam rangka mewujudkan keseragaman pandangan harus senantiasa diusahakan. Apalagi, masalah penetapan awal dan akhir Ramadhan di samping merupakan masalah ibadah juga masalah sosial.

BAB II

PEMBAHASAN





A. TEKS HADITH

Hadith melihat bulan sebagai penentuan awal dan akhir puasa yang dibahas dalam makalah ini adalah hadith yang diberitakan oleh Imam Bukhari dengan redaksi sebagai berikut :

حدثنا أدم حدثنا شعبة حدثنامحمد بن زيد قال سمعت اباهريرة رضي الله عنه يقول قال النبي صلى الله عليه وسلم صومولرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملواعدة شعبان ثلاثين.[3]

Untuk hadith pendukungnya disertakan hadith-hadith lain sebagai berikut :

dalam redaksi lain Imam Bukhari meriwayatkan :

حدثنا يحي بن بكير قال حدثنى الليث عن عقيل عن شهاب قال اخبرنى سالم ابن عمر رضي الله عنهما قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول اذا رايتموه فصوموا و اذا رايتموه فافطروا فان غم عليكم فاقدرواله.[4]

Riwayat Imam Muslim

عن ابى هريرة رضي الله عنه قال ذكر رسول الله صلى الله عليه وسلم الهلال فقال اذا رايتموه فصوموا واذا رايتموه فافطروفان غبي عليكم فعدوا ثلاثين.[5]

Riwayat Tirmidzi

حدثنا ابو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن عمرو عن ابى سلمة عن ابى هريرة قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم لا تقدموا الشهر بيوم و لا بيومين الا ان يوافق ذلك صوما كان يصومه احدكم صوموا لرؤيته و افطروا لرؤيته فان غم عليكم فعدوا ثلاثين ثم افطروا.[6]

Riwayat Ibnu Majah :

حدثناابومروان محمد بن عثمان العثمانى حدثنا ابراهيم بن سعد عن الزهرى عن سالم بن عبد الله عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا رايتم الهلال فصوموا و اذا رايتموه فافطروا فان غم عليكم فاقدروا له.[7]

Riwayat Abu Daud :

حدثنا الحسن بن على حدثنا حسين عن زائدة عن سماك عن عكرمة عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تقدموا الشهر بصيام يوم و لا يومين يكون شيء يصومه احدكم ولا تصوموا تروه ثم صوموا حتى تروه فان حال دونه عمامة فاتموا العدة ثلاثين ثم افطروا و الشهر تسع و عشرون.[8]



B. MAKNA MUFRADAT

صوموا


:


Bentuk amar yang mendapat tambahan dlomir jama’, berasal dari kata صام – يصوم - صوما yang berarti berpuasa.

افطروا


:


Bentuk amaryang mendapat tambahan dlomir jama’, berasal dari kata yang berarti berbukalah atau tidak berpuasa, yakni berhari raya.

غبي


:


Tertutup mendung.

فاكملوا


:


Sempurnakanlah. Maksudnya, sempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.[9]



Terjemah hadith tersebut adalah :

“Berpuasalah kamu sekalian ketika melihat bulan (dari bulan Ramadhan), dan berbukalah (berhari raya) kamu sekalian ketika melihat bulan (dari bulan Syawal). Dan apabila langit mendung (bulan tidak terlihat) maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari”.



C. TAKHRIJ HADITH

Takhrij hadith pada dasarnya adalah untuk mengetahui derajat keshahihan suatu hadith. Berdasarkan kesepakatan muhaddithin, kriteria keshahihan hadith ada lima, yakni: (1) al-musnad (bersambung sanadnya), (2). rawinya ’adil, (3). Rawinya dhabit, (4). Bebas dari syadh, (5), bebas dari ‘illat.[10]

Langkah pertama dalam penelitian hadith adalah dengan mengetahui biografi dan kredibilitas masing-masing perawi hadith untuk menentukan status ketersambungan sanadnya. Subhi Shalih menyebutkan bahwa ittishal al-sanad dapat diteliti dengan membandingkan beberapa hal, yakni: tahun kelahiran dan wafat antar rawi, tempat tingalnya, hubungan guru murid dan pola tahammul dan ada’nya.[11]

Adapun Hadith-hadith tersebut dapat dijumpai dalam beberapa riwayat sebagai berikut :

1. Riwayat Imam Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari bab puasa.

2. Riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim bab waktu puasa adalah melihat hilal.

3. Riwayat Ibnu Tirmidzi dalam kitab Sunan al-Tirmidzi bab puasa.

4. Riwayat Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah bab ma ja’ala fi al Syahadah ‘ala ru’yah al-hilal.

5. Riwayat Abu Daud dalam kitab Sunan Abu Daud.



Biografi dari rawi tersebut adalah :

1. Abu Hurairah

Beliau adalah berasal dari kalangan shabat. Beliau lebih dikenal dengan julukannya dari pada nama sebenarnya. Abu Hurairah berasal dari Dausi, keturunan Daus bin Adnan bin Abdullah dan ayahnya bernama Umair.[12]

2. Muhammad bin Ziyad

Mempunyai lengkap Muhammad bin Ziyad al Quraisyi. Ibrahim bin Hani’ dari Ahmad berkata bahwa beliau adalah orang yang tsiqah. Demikian pula Ishaq bin Mansur dari Ibnu Mu’ayyan juga menyatakan bahwa beliau adalah orang yang thiqah.[13]

3. Shu’bah

Nama lengkapnya adalah Shu’bah bin al-Hajjaj bin al-Ward. Abu Thalib dari Ahmad berkata bahwa Shu’bah adalah orang yang paling tetap dalam masalah hukum dan lebih mengetahui pada hadith serta tidak ada pada zamannya orang yang semisalnya dalam masalah hadith.[14]

4. Adam

Beliau lahir di Baghdad dan tinggal di Asqalan hingga wafatnya. Beliau mempunyai nama lengkap Adam bin Abi Iyas. Abu Dawud, al-Ajili, ibnu Hibban, dan Ibnu Mu’ayyan menyatakan bahwa beliau adalah termasuk kalangan orang yang thiqah.[15]





Bagan hadith ru’yah al-hilal riwayat Ibnu Umar

Rasulullah saw

Abu Hurairah

Muhammad bin Ziyad

Adam



Shu'bah

Bukhari



D. ANALISIS KANDUNGAN HADITH

Melalui hadith tersebut Rasulullah saw memerintahkan umatnya memulai puasa dan berbuka berdasarkan rukyatul hilal, dan apabila terhalangi oleh mendung atau semisalnya maka dengan melengkapkan bilangan sya’ban menjadi tiga puluh hari.

Pada masa sekarang ini, di mana ilmu pengetahuan telah mengalami kemajuan, pengertian rukyatul hilal mengalami pergeseran. Ada yang memaknainya tetap seperti semula, yaitu rukyat bil fi’li dan ada yang memaknai dengan rukyat bil ilmi, yaitu melihat hilal dengan ilmu pengetahuan (hisab).

Sejarah panjang ilmu hisab pada gilirannya dapat menghasilkan metode dan sistem perhitungan yang beragam. Hal itu disebabkan oleh adanya sistem atau metode yang tetap dipegangi oleh segolongan orang. Jika diperinci maka hal tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu :[16]

1. Kelompok yang berpijak pada sistem ijtima’ yang menetapkan awal bulan berdasarkan kepada waktu kapan ijtima’ itu terjadi. Jika ijtima’ terjadi sebelum saat matahari terbenam, sejak matahari terbenam itulah bulan mulai masuk. Akan tetapi jika ijtima’ terjadi setelah matahari terbenam, hari berikutnya belum masuk bulan baru.

2. Kelompok yang berpegang pada posisi hilal di atas ufuk.

Penetapannya dilakukan berdasarkan ketentuan, jika pada saat matahari terbenam posisi hilal menurut perhitungan sesudah berada di atas ufuk, sejak matahari terbenam, bulan baru mulai dihitung.

3. Kelompok yang berpegang pada imkanur ru’yah.

Kelompok ini mengemukakan bahwa masuknya awal bulan baru/posisi hilal pada saat matahari terbenam harus ada pada ketinggian tertentu sehingga memungkinkan untuk diru’yah.

Dari hadith di atas ini pula, muncul sebuah perbedaan pemahaman mengenai cara melihat hilal dan perbedaan matla’, sehingga dapat menimbulkan perbedaan penentuan hari.

Mengenai matla’ atau tempat melihat hilal, secara garis besar terdapat beberapa pendapat, yaitu :

1. Jumhur ulama. Di antara mereka adalah Imam Ahmad dan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa jika hilal telah terlihat di suatu negeri maka wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk berpuasa.

Abdurrahman al-Jaziri menjelaskan apabila ru’yatul hilal telah terbukti atau terlihat disanalah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain harus mengikuti. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan antara negeri yang dekat dengan negeri yang jauh jika kabar ru’yatul hilal itu memang telah sampai kepada mereka secara terpercaya. Di sini tidak diperhatikan lagi perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikian pendapat Abu Hanifah, Maliki dan Ahmad bin Hanbal. Para ulama ini mengemukakan dalil :

a. Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185.

ãöky­ tb$ŸÒtBu‘ ü“Ï%©!$# tAÌ“Ré& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# ”W‰èd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3“y‰ßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù y‰Íky­ ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuŠù=sù ( `tBur tb$Ÿ2 $³ÒƒÍsD ÷rr& 4’n?tã 9xÿy™ ×o£‰Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 3 ߉ƒÌãƒ ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߉ƒÌãƒ ãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£‰Ïèø9$# (#rçŽÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4†n?tã $tB öNä31y‰yd öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ

185. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.



b. Hadith Rasulullah

صومولرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملواعدة شعبان ثلاثين.



“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya.”[17]

Menurut pendapat ini pada dasarnya khitab yang terdapat pada hadith tersebut mengandung pengertian umum untuk seluruh kaum muslimin dan bukan sebagian dari mereka.



2. Syafi’iyah, menyatakan bahwa setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Mereka beralasan bahwa khitab hadith



صومولرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملواعدة شعبان ثلاثين.



“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya” bersifat relatif atau nisbi.

Maka, menurut pendapat ini hadith tersebut menunjukkan bahwa perintah puasa dan berhari raya diperuntukkan orang yang melihat hilal di daerahnya sendiri. Adapun orang lain yang tidak mendapati hilal di daerahnya, maka yang sedemikian tidak berlaku. Dengan kata lain golongan Syafi’iyah berpendapat apabila ru’yatul hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas pembuktian ini penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan ini dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak antara keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yat ini, karena terdapat perbedaan mathla’.[18]

Dengan demikian menurut pendapat ini hukumnya mengikat pada wilayah sekitar daerah yang berdekatan itu. Sedangkan di luar jarak tersebut tidak terikat hukum rukyatul hilal. Dasar pendapat ini selain hadith di atas adalah qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika.[19]

3. Pendapat ketiga, menyatakan apabila suatu daerah mathla’nya berbeda dengan negara lain, maka masing-masing daerah memiliki rukyah hilal (penentuan awal dan akhir bulan) sendiri-sendiri. Dan apabila mathla’nya sama (tidak berbeda), maka bagi siapa saja yang belum melihat hilal wajib mengikuti ketetapan rukyah hilal tempat lain. Dengan kata lain pendapat ini hampir sama dengan pendapat kedua, hanya saja tidak dibatasi oleh teritorial negara, sehingga dimana negara yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing. Dan tidak untuk negera yang berdekatan.[20]

Mereka yang berpendapat demikian menggunakan dalil surat al-Baqarah ayat 185 sebagaimana yang digunakan oleh pendapat pertama. Tapi menurut pendapat ini, pada dasarnya ayat ini tidak dimaksudkan rukyahnya setiap orang, tapi yang dimaksudkan tempat dimana hilal dapat dilihat dan setiap tempat yang mathla’ hilalnya sama.

Adapun hadith “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya” diartikan bahwa setiap orang yang berada disuatu daerah yang mathla’ hilalnya tidak sama dengan orang yang melihat hilal maka pada saat itu hukum berpuasa atau berhari raya tidak berlaku baginya. Pendapat ini juga menyatakan bahwa penentuan bulan seperti penentuan hari, maka ketika suatu daerah tertentu berbeda dalam berpuasa dan berbuka dalam setiap bulannya, dan pada dasarnya kaum muslim sepakat bahwa dengan perbedaan waktu akan membawa dampak yang lain. Dengan demikian bagi yang tinggal di daerah bagian timur maka berpuasa sebelum mereka yang berada di bagian barat.

4. Pendapat keempat, menyatakan bahwa perkara ini diserahkan pada waliyul amri (pemerintah). kapanpun pemerintah menentukan wajibnya puasa dan berbuka yang didasarkan pada ketentuan syara’, maka pada saat itu juga wajih bagi kaum muslim mengikutinya.









KESIMPULAN



Permasalahan perbedeaan penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan pada dasarnya berujung padametode apa yang digunakan dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Menyikapi perbedaan tersebut, seseorang dapat mengikuti diantara pendapat yang diyakininya, karena hal itu termasuk bagian dari masalah ijtihadi. Guna mewujudkan persatuan, ulama memberikan solusi dengan anjuran penetapan hakim dengan syarat bahwa hakim tersebut konsisten dengan pendapatnya. Apabila hal tersebut tidak dapat dilakukan hendaknya menjaga pluralisme dalam persatuan. Karena masalah ini adalah masalah fiqih yang memungkinkan berbeda. Wallahu A’lam.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ibnu hajar. Fath al-Bari, vol. IV. Beirut : Dar al-Fikr, tt

Al-Asqalani, Ibnu hajar. Tahdzib al-Tahdzib, juz IX, hal. 145.

Al-Bukhari. Matn al-Bukhari, Indonesia : Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt.

Al-Jaziri, Abd al-Rahman. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, vol I, Mesir : al-Maktabah al-Bukhariyah al-Kubra, tt.

Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. I,Damaskus : Dar el-Fikr, 1989.

Departemen Agama. Almanak Hisab Ru’yah, Jakarta : Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981.

Taufik. Prinsip-prinsip Penetapan Awal Bulan ramadhan dan Shawwal Departemen Agama, Mimbar Pembangunan Agama, Juni, 1992.

PENENTUAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN



REVISI



Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah Hadith Ahkam











Dosen :
Dr. Idri,. MA





Penyusun :
Tantin Puspita Rini

FO240639




PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2008

[1] Didasarkan pada hadith Nabi SAW “Bulan itu dua puluh sembilan hari, oleh karena itu janganlah berpuasa Ramadhan sebelum kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sebelum melihat hilal (bulan sabit bulan Shawwal). Bila awan menutupimu (sehingga kamu sekalian tidak dapat melihatnya) maka perkirakanlah. Al-Bukhari, Matn al-Bukhari (Indonesia : Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt), 327.

[2] Ibnu hajar al-Asqalani, fath al-Bari, vol. 4 (Beirut : Dar al-Fikr, tt), 127.

[3] Shahih Bukhari,. Kitab al- Saum.,bab “Qawl Nabiy SAW idza raaitum al-hilâla”.,CD

Hadith Kutub al-Tis’ah., No. 1776

[4] Shahih Bukhari,. Kitab al- Saum.,bab “Qawl Nabiy SAW idza raaitum al-hilâla”.,CD

Hadith Kutub al-Tis’ah., No. 1767

[5] Shahih Muslim,. Kitab al- Saum.,bab “Qawl Nabiy SAW idza raaitum al-hilâla”.,CD

Hadith Kutub al-Tis’ah., No. 11811



[6] Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Saum ’an Rasulillah.,” bab Ma ja a…bi al saum”.,CD Hadith Kutub al tis’ah,. No. 620.

[7]Sunan Ibnu Majah., Kitab al-Saum.,” bab Ma ja a fi sumu wa aftiru”.,CD Hadith Kutub al tis’ah,. No. 1644.

[8] Sunan Abu Dawud., Kitab al-Saum.,” bab man qala fain ghumma ‘alaikum fasumu thalathina”.,CD Hadith Kutub al tis’ah,. No. 1982.

[9] Misbah al-Munir, hal. 492.

[10] Umar Hashim, Qawaid Ushul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, 1998)

[11] Subhi Shalih, Ulum al-Hadith wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-ilmi li al-Malayin, tt) 145

[12] Ibnu Sa’ad, tabaqat, IV,hal. 52.

[13] Ibnu hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz IX, hal. 145.

[14] Ibid, juz IV, hal. 308.

[15] Ibid,juz I,hal. 177.

[16] Departemen Agama, Almanak Hisab Ru’yah (Jakarta : Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981), 99-100.

[17] Shahih Bukhari III, hal 24, lihat juga di Shahih Muslim, III, hal. 122.

[18] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, I, hal. 550.

[19] Dr. Wahbah al-Zuhaili, alFiqh al-Islami wa Adillatuhu, I,hal.142.

[20] Lihat komentar Ibnu Qatadah di kitab al-Mughni IV,hal. 328.

{ 0 comments... read them below or add one }

125x125 Ad Spots

 
Web Informer Button