RSS Subscribe

KAJIAN TEORITIS MENGENAI KETIMPANGAN GENDER

Posted by dev on Friday, October 10, 2008

Artikel:
KAJIAN TEORITIS MENGENAI KETIMPANGAN GENDER


* Judul: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KETIMPANGAN GENDER
Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi bagian LAIN / OTHER.
Nama & E-mail (Penulis): Junaidi,SE,M.Si

Saya Dosen di Universitas Jambi
Topik: Peranan Perempuan
Tanggal: 12-1-2007*

* KAJIAN TEORITIS MENGENAI KETIMPANGAN GENDER*
Oleh : JUNAIDI, SE,M.Si (junaidi_chaniago@yahoo.com)
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Jambi

Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perem¬puan dan hubungan
sosial antara laki-laki dan perempuan (Saptari, 1997). Gender berbeda
dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat
biologis (Moore, 1988). Ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam satu
kebudayaan bisa dianggap sebagai feminim dalam budaya lain. Dengan kata
lain, ciri maskulin atau feminim itu tergantung dari konteks
sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.

Ketidakseimbangan berdasarkan gender (gender inequality) mengacu pada
ketidakseimbangan akses sumber-sumber yang langka dalam masyarakat.
Sumber-sumber yang penting itu meliputi kekuasaan barang-barang
material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, perawatan medis,
otonomi pribadi, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelat¬ihan,
serta kebebasan dari paksaan atau siksaan fisik (Chafetz, 1991).

Dalam menjelaskan timbulnya fenomena ketimpangan gender pada dasarnya
ada tiga teori dasar yang dapat digunakan yaitu teori neo-klasik, teori
segmen¬tasi pasar tenaga kerja dan teori feminis. Dua teori pertama
lebih melihat ketimpangan gender dalam dunia kerja, sedangkan teori yang
terakhir melihat ketimpangan gender secara lebih umum dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat.

Teori neo-klasik menerangkan pembagian kerja seksual dengan menekankan
perbedaan seksual dalam berbagai varia¬bel yang mempengaruhi
produktivitas pekerja. Perbedaan- perbedaan itu meliputi pendidikan,
keterampilan, lamanya jam kerja, tanggung jawab rumah tangga, serta
kekuatan fisik. Semua ini didasari asumsi bahwa di dalam persaingan
antar pekerja, pekerja memperoleh upah sebesar marginal product yang
dihasilkannya. Asumsi lain adalah bahwa keluarga mengalokasikan sumber
daya mereka secara rasion¬al. Konsekuensi logis dari hal ini adalah
anggota rumah tangga laki-laki memperoleh investasi human capital yang
lebih tinggi daripada perempuan. Selanjutnya, perempuan memperoleh
pendapatan dari produktivitas yang lebih rendah dari laki-laki karena
mereka memiliki human capital yang lebih rendah. (Anker dan Hein, 1986
dalam Susilastuti dkk, 1994).

Teori segmentasi pasar tenaga kerja mengatakan bahwa laki-laki pada usia
prima (prime-age) terkonsentrasi dalam pekerjaan berupah tinggi, stabil
dan dengan latihan, promosi dan prospek karir lebih baik: dan disebut
sebagai primary jobs. Sedangkan Secondary jobs, tidak menjanjikan
jaminan akan kestabilan bekerja, kompensasi rendah, tanpa prospek untuk
berkembang di masa depan; dan pada umumnya perempuan berada pada segmen
ini (Chiplin dan Sloane, 1982).

Keterbatasan ruang lingkup kerja perempuan diakibat¬kan oleh karena
perempuan tidak mempunyai kapasitas untuk akses pada male-dominated
jobs, sehingga perempuan terkon¬sentrasi secara berlebih dalam suatu
range kesempatan kerja terbatas, yang menekan tingkat upah perempuan
(Chiplin dan Sloane, 1982). Terbatasnya pilihan pekerjaan perempuan ini
menurut Peluso (1984) karena perempuan dibatasi oleh siklus hidup yang
dialami karena kewajiban pada aktivitas rumah tangga dan mencari nafkah
berbeda- beda pada masing-masing tahap siklus tersebut.

Dari hal tersebut terlihat bahwa teori segmentasi pasar tenaga kerja
menunjukkan bahwa pekerja laki-laki dan perempuan tidak bersaing dengan
landasan yang sama, kare¬nanya tidak mempunyai akses yang sama ke
lapangan kerja. Teori segmentasi pasar tenaga kerja ini dianggap tidak
mampu menjelaskan mengapa segmentasi pasar tenaga kerja berdasarkan
jenis kelamin terjadi.

Selanjutnya, untuk teori feminis, terdapat tiga pendekatan yaitu
pendekatan feminis radikal, feminis marxis (sosialis) dan feminis
liberal (Saptari,1997). Pendekatan feminis radikal lebih menekankan
bahwa ketim¬pangan hubungan gender bersumber pada perbedaan biologis.
Perempuan memiliki kebebasan untuk memutuskan kapan ia harus menggunakan
atau tidak menggunakan teknologi pengen¬dali reproduksi (kontrasepsi,
sterilisasi, aborsi) dan teknologi pembentuk reproduksi. Pandangan
feminis radikal ini terlalu menonjolkan determinisme biologis dan tidak
mampu menjelaskan mengapa fakta perbedaan seks bisa ber¬kembang menjadi
perbedaan gender. Adapun pendekatan feminis marxis menjelaskan bahwa
ketimpangan gender terjadi karena kapitalisme. Kapitalisme adalah
tatanan sosial dimana para pemilik modal mengung¬guli kaum buruh dan
laki-laki mengungguli perempuan. Pendekatan feminis marxis ini terlalu
memfokuskan pada hubungan perempuan dengan kapital dan cara-cara
berproduk¬si dan kurang menyoroti sebab-sebab ketimpangan gender dan
subordinasi perempuan. Sedangkan pendekatan feminis liberal memandang
bahwa subordinasi perempuan berakar pada seperangkat kendala dan
kebiasaan budaya yang menghambat akses perempuan terhadap kesempatan
untuk berkompetisi secara adil dengan laki-laki.

Selanjutnya pendekatan feminis liberal, kedudukan perempuan yang relatif
rendah dalam pasar tenaga kerja ini tidak dapat dipisahkan dari struktur
sosial yang menempat¬kan perempuan pada kedudukan yang lebih rendah
daripada laki-laki. Perempuan disosialisasikan pada kegiatan-kegia¬tan
domestik dan sifat-sifat kewanitaan seperti sekreta¬ris, resepsionis,
waitres dan lainnya. Perbedaan perempuan dan laki-laki yang telah
disosialisasikan dalam keluarga kemudian terefleksi dalam kecenderungan
pekerjaan menerima perintah bagi perempuan dan memberi perintah bagi
peker¬jaan laki-laki (Collins, 1991).

Terbentuknya perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki, dimana
wilayah kekuasaan perempuan di dalam rumah dan laki-laki di luar rumah.
Hal ini dapat dilihat dari perspektif (Berger dan Luckmann,1976):
Pertama, konstruksi Sosial, yang menerangkan bagaimana proses awal
bidang domestik dan bidang publik itu terbentuk. Menurut Berger, karena
a. Proses eksternalisasi, yaitu suatu nilai yang diproduksi oleh
individu dari yang tidak ada menjadi ada. b. Proses objektivikasi, yaitu
kesepakatan-kesepaka¬tan tadi menjadi realitas sosial atau proses
penolakan dan proses penerimaan sehingga realitas terbentuk. c. Proses
Internalisasi, yaitu dari individu itu sendiri karena sebenarnya
individu merupakan bagian dari masyarakat sosial. Kedua, Reproduksi
Sosial, yaitu bagaimana sebenar¬nya perbedaan bidang domestik dan publik
itu dikuatkan/diintensifkan. Hal ini dilakukan a. dengan simbol-simbol,
seperti dibentuknya 'Dharma Wanita' yang sebenarnya lebih menguatkan
posisi perempuan di bidang domestik dan laki-laki di bidang publik, b.
reproduksi status biologis perempuan, misalnya perempuan adalah mahluk
yang lemah, perempuan berkaitan dengan kesehatan, melahirkan, perempuan
yang sedang menstruasi lebih emo¬sional sehingga dapat merugikan
perempuan dalam dunia kerja. c. reproduksi status kultural perempuan,
misalnya perempuan lebih telaten, rapi,dll, sehingga perempuan diberikan
pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian yang tinggi (sebagai pekerja
marginal).

Persepsi adalah suatu objek yang dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari
dalam diri individu yang mewujud dari nilai-nilai yang diproduksi
individu tersebut. Sebaliknya faktor eksternal adalah faktor yang
berasal dari lingkungan luar individu. Menurut Mar'at (1982) persepsi
ini sangat berhubungan dengan intuisi dan tercermin dalam bentuk
perasaan senang/tidak senang terhadap sesuatu.

Dalam konteks persepsi perempuan terhadap ketimpangan gender, sulit
untuk memisahkan pengaruh faktor internal dan eksternal. Hal ini
berkaitan dengan konsep ketimpangan gender sebagai suatu hasil
konstruksi sosial. Menurut Abdullah (1996) manusia memberi arti dan
interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan yang
kemudian melahirkan suatu struktur sosial dengan pembagian pembagian hak
dan kewajiban secara seksual. Hal ini kemud¬ian menjadi realitas
objektif yang memiliki daya paksa terhadap manusia yang semula
menciptakannya. Demikian pula kemudian, kata Berger (1991) dalam
Abdullah (1996), setiap orang diperkenalkan pada makna-makna budaya,
belajar ikut serta dalam tugas-tugas yang sudah ditetapkan dan menerima
peran-peran selain menerima identitas-identitas yang membentuk struktur
sosialnya.

Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa proses objek¬tivikasi tersebut
dapat menjadi suatu faktor internal yang mempengaruhi persepsi individu.
Dengan demikian menurut Astuti (1997) banyak kaum perempuan yang
menerima ketida¬kadilan jender tersebut dengan wajar karena merupakan
suatu takdir.

Sebagai akibat dari sikap yang menerima keadaan ini, struktur sosial
yang timpang ini akhirnya tidak hanya terus menerus dimitoskan oleh
laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Hal tersebut juga berlaku pada
kaum perempuan yang memiliki akses kekuasaan yang lebih tinggi. Menurut
Astuti (1997), kelompok perempuan ini sering menempatkan perempuan
sebagai subordinat. Dapat dilihat dari pernya¬taan seorang pengusaha
perempuan sebagaimana yang dikutip Hariadi (1997) yang mengemukakan
bahwa berdasarkan penga¬lamannya memiliki pekerja perempuan itu lebih
menguntung¬kan. Karena mereka rajin, telaten, tidak banyak tuntutan dan
mempunyai loyalitas tinggi. Lebih lanjut dia mengemu¬kakan bahwa secara
psikologis sikap itu memang pembawaan dari sifat-sifat kaum perempuan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapus ketim¬pangan gender
tersebut. Di samping upaya-upaya pergerakan perempuan yang menuntut
persamaan hak, juga telah diatur dalam berbagai konvensi dan
perundang-undangan. Pada tahun 1976, PBB telah mengeluarkan Deklarasi
mengenai penghapu¬san diskriminasi terhadap perempuan. Pada tanggal 18
Desember 1979 Majelis Umum PBB telah menyetujui konvensi tersebut.
Selanjutnya karena konvensi tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945, maka sejak tahun 1984 dengan UU RI No. 7 tahun 1984,
Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan.

Namun demikian upaya tersebut tidak akan berhasil dengan baik jika tidak
diikuti oleh perubahan dalam kon¬struksi sosial. Raharjo (1996)
mengemukakan harus diadakan dekonstruksi hubungan gender dan reorientasi
pemahaman seksualitas. Dekonstruksi sosial pada tahap awal akan
berdampak pada perubahan persepsi masyarakat baik laki-laki maupun
perempuan terhadap hubungan gender tersebut. Pada tahap selanjutnya, hal
tersebut sekaligus juga akan dapat memp¬erbaiki ketimpangan gender yang
terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,I,1996, "Seks,Gender dan Reproduksi Kekuasaan", dalam
Dwiyanto,A,dkk,(eds) Penduduk dan Pembangunan, Yogyakarta,Aditya Media
dan PPK-UGM
Ancok, D, 1996, Kualitas Manusia dan Produktivitas, (paper tidak
diterbitkan)
Astuti,M,1997,"Jender dan Pembangunan", disampaikan pada Penataran
Metodologi Penelitian Kajian Wanita Berp¬erspektif Jender. Hotel Sri
Wedari Yogyakarta, 7-13 September 1997
Berger,P. dan Luckmann,T,1976, The Social Construction of Reality,
London: Penguin Press
BPS, 2001, Pengembangan Indeks Pembangunan Manusia, Jakarta, BPS
Chafetz,J.S, 1991, "The Gender Division of Labor and The Reproduction of
Female Disadvantage: Toward an Integrated Theory" dalam Blumberg, R.L,
(ed), Gen¬der, Family and Economy, The Triple Overlap. Newbury Park:
Sage Publication.
Chiplin,B. dan Sloane,PJ.,1982. Tackling Discrimination at the
Workplace: An Analysis of Sex Discrimination in Britian. London:
Cambridge University Press.
Collins,R. 1991. "Women and Men in The Class Structure", dalam
Blumberg,R.L (ed), dalam Gender, Family and Economy: The Triple Overlap,
London: Sage Publica¬tions.
Hariadi,SS,1997,"Aplikasi Jender dalam Pembangunan", disampaikan pada
Penataran Metodologi Penelitian Kajian Wanita Berperspektif Jender.
Hotel Sri Wedari Yogyakarta, 7-13 September 1997
Moore,H.L. 1988. Feminism and Anthropology. Cambridge: Polity Press.
Peluso,N.L. 1984. Occupational Mobility and The Economic Role of Rural
Women. Yogyakarta. Population Studies Center.
Saptari,R, 1997. Studi Perempuan: Sebuah Pengantar dalam Saptari,R. dan
Holzner (eds), Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar
Studi Perempuan.
Susilastuti DH, Hudayana,B., dan Hrdyastuti, 1994. Fe¬minisasi Pasar
Tenaga Kerja. Yogyakarta. PPK-UGM.
UNDP, 2001,2004, Indonesia Human Development Report 1992, Jakarta;
BPS-UNDP-BAPPENAS
Saya Junaidi,SE,M.Si setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan
digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan
ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

{ 0 comments... read them below or add one }

125x125 Ad Spots

 
Web Informer Button